say hallo

say hallo

Senin, 30 November 2015

Man Jadda Wajada, Man Jadda Wa Jadda, atau Man Jadda Wa Jada?

Man Jadda Wajada, Man Jadda Wa Jadda, atau Man Jadda Wa Jada?
Ini adalah tentang Man Jadda Wajada, sebuah kata mutiara atau Pepatah Arab yang sangat terkenal. Kata mutiara ini diajarkan di berbagai lembaga pendidikan Islam, terutama pesantren. Hampir semua pesantren mengajarkan kata mutiara ini.
Tulisan Arab untuk Man Jadda Wajada adalah  من جد وجد  terdiri dari tiga suku kata yaitu “man” yang berarti siapa, “jadda” yang berarti bersungguh-sungguh, dan “wajada” yang berarti mendapatkan atau berhasil. Jadi, penulisan yang benar memang Man Jadda Wajada. Arti harfiahnya adalah “siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan mendapatkan”. Diartikan secara lebih luas, “siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan berhasil atau sukses”.
Saya mau membahas ini karena ternyata banyak orang yang salah menuliskannya. Dan kesalahan tulis dari bahasa Arab, tentu saja akan berpengaruh terhadap artinya. Saya mencoba melihat di Google bagaimana orang mencari tulisan ini, menariknya, ternyata yang paling banyak adalah pencarian dengan kata kunci “Man Jadda Wa Jadda”. Kalau melihat definisi kata per kata di atas, kalimat “Man Jadda Wa Jadda” artinya, “Siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan bersungguh-sungguh”, karena kata “jadda” diulang lagi pada kata kedua. Tentu artinya jauh sekali bukan? Lha, kalau bersungguh-sungguh dan bersungguh-sungguh, kapan akan suksesnya?
Kalimat Man Jadda Wajada mempunyai makna kesungguhan yang sangat luas. Di situ ada proses keyakinan, ada impian, dan ada juga kerja keras dalam mencapai impian. Orang banyak bermimpi, tetapi hanya sedikit yang mau bekerja keras membayar impian.
Bagi saya, Man Jadda Wajada sendiri seperti sebuah framework besar tentang bagaimana kita bisa sukses dan mencapai apa yang kita cita-citakan. Bagaimana sukses ala Man Jadda Wajada itu bisa diraih?
Pertama, orang harus punya impian. Orang harus berani bermimpi. Banyak orang yang sekarang ini bermimpi saja tidak berani. Atau kalaupun diminta bermimpi, impiannya hanyalah pendek-pendek belaka, tidak berani bermimpi besar. Padahal, awal dari semuanya adalah impian besar. Orang tidak mungkin bisa mencapai apa yang ia cita-citakan kalau tidak punya impian besar.
Kedua, orang mesti yakin bahwa apa yang ia impikan itu bisa tercapai. Keyakinan diri ini penting karena akan mempengaruhi pola pikir dan tindakan kita. Apa yang terjadi di masa depan adalah apa yang kita yakini sekarang. Kalau kita yakin bahwa kita akan berhasil, maka kita akan berhasil. Tetapi kalau keyakinan kita adalah kita akan gagal, maka kitapun akan gagal. Jangan takut impian kita terlalu tinggi. Tuhan Maha Kuasa, dengan mudah ia akan bisa membuat kita sukses atau gagal.
Ketiga, orang harus mau bekerja keras membayar semua impian yang ada. Tanpa kerja keras, tidak mungkin impian itu bisa tercapai. Tidak ada kesuksesan yang datang tiba-tiba, atau secara kebetulan. Pasti semuanya melalui kerja keras dan perjuangan panjang.
Keempat, orang mesti tahu cara atau strategi bagaimana mendapatkan impian. Dia mesti punya “kendaraan” untuk mencapai impian tersebut. Dia mesti tahu caranya, karena itulah ia butuh belajar. Belajar menjadi profesional di bidangnya, atau belajar untuk hidup mandiri dengan berwirausaha. Orang bodoh hanya akan menjadi beban bagi kehidupan.
Kelima, butuh disiplin, sabar, dan konsisten. Sukses tidak ada yang didapatkan secara instan. Sukses butuh perjuangan panjang. Di sinilah orang butuh sabar, disiplin diri yang kuat dan konsisten, atau istiqamah. Apapun yang terjadi, walau langit runtuh sekalipun, tetap tegar melawan badai, dan fokus mencapai impian.
Keenam, jangan lupa selalu berdoa dan mendekatkan diri pada Tuhan. Tugas kita bekerja keras, habis itu serahkanlah semuanya kepada Tuhan. Bertawakkal untuk yang terbaik bagi kita. Dengan demikian, saat kita sukses tidak menjadikan kita sombong. Sebaliknya, saat kita jatuh atau gagal, tidak pula menjadikan kita terpuruk.
Ketujuh, orang yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Sukses itu bukan untuk diri sendiri, tetapi bagaimana kesuksesan kita bisa memberikan manfaat sebanyak-banyaknya buat orang lain. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Jadilah orang sukses, dan jadilah orang yang paling bermanfaat.
Salam Man Jadda Wajada. Pasti BISA.
Sumber : http://www.manjaddawajada.biz/man-jadda-wajada-man-jadda-wa-jadda-atau-man-jadda-wa-jada/

Senin, 23 November 2015

lirik lagu




Lirik Lagu

Semua janji yang terlantunkan dari bibir indahmu..
Dan tak lain dari hanya kepalsuan yang terucap..
Bila ku mengingat saat dirimu lebih memilih yang lain
Kau hancurkan, hianati
Kini hati kecilku menangis
Pergilah dengan kekasih yang kau pilih.
Disini ku berdoa untuk kebahagiaanmu.
Perihku akan kusimpan sendiri.
Walau ku ku terjatuh aku kan berdiri kembali...

stand by me - move on
Semesta Alam Bersinar

Kaki boleh melangkah Tangan boleh mengayun Mata boleh berkedip Telinga boleh mendengar Seluruh anggota tubuhku bergerak Melakukan tugasnya masing-masing Tak sama pun tak apa Karena tak semua hal selalu sama Saat kaki tak selaras dengan tangan Saat hati tak selaras dengan alasan Berat melangkah, bahkan berkedip Namun waktu tak bisa dipangkas Aku tetap harus melaju Tinggal kupilih mana yang kan kutempuh Ada yang berat, ada yang ringan Ada yang buruk, ada yang indah Ada yang memaksa begini Tapi aku tak ingin Saat kulihat bintang dilangit Bintang itu bersinar dihatiku Bahkan nyatanya bintang mendukungku Semesta alam bersinar untukku Tuk lakukan sesuai keinginanku Dan akan selalu begitu

  Oleh Emilia Kurniasari

cerpen sahabat

Setangkai bunga anggrek putih yang sangat aku kagumi memberikan kesejukan hati di kala aku memandangnya. Tapi kali ini bunga anggrek putih yang indah itu tak cukup mampu memberi ketenangan pada jiwaku yang sedang kalut dan kusam diterpa badai ketidakberdayaanku sebagai manusia.
Waktu terasa begitu cepat hingga aku benar–benar berada di ujung senja, di mana setiap manusia akan pulang dari setiap kesibukannya, hewan akan kembali ke kandangnya bahkan burung segera pulang ke sarangnya. Aku, aku tak tahu ke mana aku harus kembali, setelah aku pergi, kepulanganku sebelumnya bukanlah seperti kepulanganku saat ini. Kepulanganku saat ini mengukir perih yang dalam, lebih pada kata menyesal. Ya, aku menyesal mengapa nanti, sekarang aku betul-betul memulangkan raga dan jiwaku ke rumah ini. Setelah banyak hal yang ku lewatkan kenapa aku tersadar baru saja.
Tidak kemarin, tidak sebulan yang lalu dan mengapa tidak setahun yang lalu. Aku merasa tragis dengan diriku sendiri, aku merasa keji dan merasa suram dengan semua perjalananku. Haruskah aku mengatakan benci pada takdir, tidak aku tak ingin menjadi manusia hina di hadapan Tuhan. Aku hanyalah sebulir makhluk yang merasa terasing dari diriku sendiri, aku merasa raga dan jiwaku tak menyatu seolah keduanya berjalan saling membelakangi, kehendak ragaku tak selalu sama dengan kehendak hatiku hingga akhirnya aku sadar bahwa hati selalu benar, dia dekat dengan pemiliknya, ambisi dan emosi telah mengusai dan mengalahkanku, dan saat ini aku tahu bahwa aku benar–benar kalah.
Ibu, aku tahu aku tak pantas minta maaf saat ini karena mungkin waktunya telah tertutup semenjak kepergianmu, aku tahu kita telah terpisah alam. Ruang dan jarak yang lalu selalu ku buat tak sama dengan ruang dan jarak pemisah kita saat ini. Realita ini terlalu rumit untuk aku terima, bukan karena aku tidak ikhlas akan takdir yang memisahkan kita, tapi perih ini adalah perih yang ku buat beberapa tahun aku menjadi anakmu. Penyesalan yang sampai saat ini belum bisa menghapus luka dan perih di hati ini.
Terbayang wajah Ibuku yang selalu memberi kasih sayangnya untukku, tepat di halaman rumah saat ku langkahkan kaki menaiki sebuah mobil rental untuk memuaskan hasrat dan ambisiku untuk mengejar mimpi di sebuah kota yang sangat jauh dari kampung halamanku. Ku tatap lagi wajahnya yang kusam dan mata yang sembab akibat menangisi kepergianku. Kakak tertuaku masih sabar menenangkannya sementara aku terus melaju bersama mobil itu menuju sebuah kota yang sampai saat ini aku tidak tahu kenapa aku harus terdampar di sini, dengan berbagai teka–teki kehidupan dari sejak awal sampai hari ini aku masih terus bertanya.
Setahun setelah aku meninggalkan Ibuku, aku mengalami kegagalan dalam studiku, di sinilah aku banyak mengukir kebohongan demi kebohongan dan akhirnya kebohongan itu membawa malapetaka, suatu kebodohan yang mungkin saat ini tak penting lagi untuk aku uraikan, hingga pada akhirnya aku berusaha keras untuk merubah diri mejadi lebih baik. Tragisnya di saat aku dalam keadaan lapang dan lebih dekat dengan Tuhan dengan berbagai aktivitas kerohanianku, muncul sebuah nasib yang memaksaku untuk menerimanya.
Ku putar balik memori, mengulang kembali tayangan masa lalu, begitu tegakah aku, begitu burukkah aku hingga aku tak memahami posisi Ibuku yang sedang menahan rasa sakit melawan penyakit kanker paru–paru yang merenggutnya. Aku membentaknya dengan nada keras ketika beliau tak memenuhi apa yang aku inginkan, begitu sadiskah aku sebagai seorang anak yang tak menghargainya di saat dia bicara dan mencoba akrab denganku, dan begitu durhakakah aku ketika seorang Ibu itu sedang berada pada stadium akhir penyakit kanker paru–parunya, aku justru meninggalkannya, dan sempat membentaknya dengan suara kasarku.
Sungguh aku tidak tahu Ibu, aku menyesal, dan aku muak dengan diriku sendiri. Aku mencintaimu, hanya saja terkadang masa lalu kita yang begitu kusam kebenarannya, selalu datang mengundang amarah dan ketidaksadaranku sebagai seorang anak. Masa lalu yang aku benci, masa lalu saat di usiaku yang masih membutuhkanmu kenapa kau tinggalkan aku, kemudian tiba–tiba kau datang dengan suami barumu, aku tidak terima saat itu. Enam tahun aku kehilangan kasih sayang, kasih sayang yang seharusnya ada untukku saat itu. Masih terukir dalam memoriku ketika Ibuku masuk ke dalam rumah dengan membawa seorang laki–laki yang telah menikahinya. Seolah bumi akan runtuh mendengar penjelasan Ibuku, penjelasan yang sangat aku benci, penjelasan yang membuat aku menjadi anak yang kasar.

“Rani ini Om Muksin, ayo salim dia Bapak barumu nak.”
Dengan rasa kesal aku menendang pintu dan berlari ke luar tanpa menyalami tangan laki–laki itu. Ibu mengejarku, menenangkanku lalu merayuku untuk bisa menerima status Om Muksin, hati tak rela, tapi aku tahu aku hanyalah seorang anak berusia delapan tahun waktu itu.
“Pak, ini Rani anakku.”
“Eh Rani, sini sama om!”
Begitu polosnya aku membiarkan tangan Om Muksin menggendongku, aku tidak butuh seorang Ayah baru, keberadaan Ibu saat itu yang aku butuhkan. Andaikan saat itu Ibu tak pergi meninggalkanku, dan membiarkanku hidup sampai remaja dengan Kakak, mungkin aku akan tumbuh dengan baik dengan asuhan seorang Ibu, aku tak akan tumbuh menjadi sosok yang keras kepala dan kasar. Tapi sayangnya Ibu pergi meninggalkanku selama kurang lebih enam tahun, dan ketika aku duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas, akhirnya Ibu pulang. Ya, Ibuku pulang ke rumah kami tanpa Om Muksin, dan yang lebih menambah kebencian dan kebekuan luka di hatiku, Ibu pulang karena telah diceraikan oleh Om Muksin seseorang yang telah ia pilih dan membiarkan aku tumbuh tanpa perhatiannya.
“Ada apalagi bu, kenapa pulang?”
“Rani Ibu sekarang seorang janda, Ibu kembali ke sini untuk mengurusmu.”
“Aku tahu mengurus diri sendiri bu.” Dengan dinginnya aku lontarkan bahasa itu.
Sejak hari itu Ibuku banyak mengalah padaku, memperlakukan aku sebaik yang aku mau. Ibu lebih banyak diam ketika aku mengomel jika ada yang salah dengan ucapan Ibu. Ibu kembali, tapi aku merasa sama saja, toh aku sudah besar, aku sudah pandai memasak, menyetrika baju sendiri dan pekerjaan rumah yang lain aku sudah bisa, beda dengan enam tahun yang lalu, baju sekolahku nyaris tak pernah disetrika, Kakak memasak dan mengurusiku dengan apa yang dia bisa, jika Kakak merasa cape dengan kerewelan dan kekanak-kanakanku aku akan menerima pukulan darinya.
Mungkin sebagian orang atau teman–teman menilai aku sebagai seorang yang kasar dan keras, aku tak mengelak, aku sadar lingkungan dan keadaan telah membentuk pribadiku, membentuk emosionalku, dan mengarahkan aku pada sebuah ambisi yang sampai hari ini mengambang tak jelas arahnya. Aku berambisi ingin menjadi seorang pilot dengan harapan bahwa aku akan selalu berada di atas awan, jarang pulang dan dirindukan oleh setiap keluarga, tapi sayang nasib justru mengantarkan aku pada sebuah organisasi pembangun jiwa, dengan konsep dan prinsip alqur’an dan sunnah Rasulullah saw, di sinilah aku tahu bahwa aku berada pada kesalahan yang besar.
Hingga pada akhirnya aku tersesat dengan ambisiku, masalah mulai bermunculan, namun aku bangga karena beberapa masalah yang tergolong berat berhasil aku lewati, namun ujian kali ini adalah sebuah ujian yang mengantarkan aku pada berbagai usaha pembenaran diriku di masa lalu, berusaha membenarkan kesalahan yang ku buat di hadapan Ibuku, namun sekali lagi waktu tak pernah bisa kompromi, aku terlalu banyak menyia–nyiakannya.
Dan suatu hari aku mendapati gambar diriku yang pupus, penyesalan kini menyertaiku. Aku tak melihat akhir dari hembusan napas Ibuku, dan yang sangat aku sesalkan, aku sungguh tidak tahu bahwa terakhir kali aku mencium Ibuku dan pergi meninggalkannya adalah sisa dari empat belas hari yang ingin dia habiskan bersamaku, hanya saja aku menolak permintaannya dengan alasan bahwa aku memiliki urusan kuliah yang tidak bisa aku lewatkan. Sungguh aku tidak tahu bahwa paru-paru Ibuku sudah parah dan sedang berada di titik stadium akhir.
Waktu tak mungkin kembali, sekalipun airmata berlinang dengan darah. Sekalipun maaf bisa diperoleh dengan taubat apakah ada yang bisa memulangkan waktu kemarin? tidak, tidak ada yang mampu. Akhirnya aku benar–benar terpisah darinya, bukan karena kebencian tapi takdir, dia yang kini telah pergi bukan aku yang meninggalkannya seperti beberapa tahun yang aku lakukan untuk menghindarinya. Saat ku terima telepon dari Kakak, suara gemetarnya bisa menyentuh hati kecilku, seolah isyarat bahwa hari itu adalah hari kepergian Ibu, kepergian yang bukan perjalanan, tapi kepergian yang merupakan kepulangan pada Sang Pencipta.
Ada perasaan mendongkol dalam hatiku untuk menyalahkan takdir, perlahan–lahan sedih dan penyesalan mulai merayap mengelilingi semua bilik di hatiku yang lama kosong. Tangisanku hari itu tak akan memulangkan senyum seorang Ibu yang telah melahirkanku. Aku mendengar isakan tangis dari Kakak tertuaku yang berusaha menjelaskan keadaan terakhir Ibu sebelum menghembuskan napas terakhirnya. Aku tidak tahu apakah ini pertolongan terhadap Ibu ataukah itu memang pantas untuknya, Ibuku menghadapi sakaratul maut dalam keadaan tenang, bahkan saat ia menghabiskan napasnya ia berusaha berada pada posisi yang baik, yakni pada posisi menghadap ke arah kiblat. Suatu kelegaan bagiku, Tuhan tak mempersulitnya.
“Ran, sabar ya.”
“iya kak, maaf Rani tidak berada di samping Ibu di saat terakhirnya.”
“tidak apa, jalannya sudah seperti itu.”
“Insya Allah hari ini saya segera berangkat.”
Hari ini aku pulang, bukan untuk bertemu Ibu, tapi untuk melepas kepergiannya. Hari ini aku kembali dengan jiwaku, yang sebenarnya memendam rindu yang ku selimuti dengan kebohongan dan keangkuhanku selama ini. Tapi ketika jiwa ini benar–benar pulang kenapa harus perpisahan yang menyambut, bukankah Ibu selalu menunggu kepulanganku? aku telah terlambat, aku pulang pada ujung senja, aku pulang di saat pemilik nyawa memanggil Ibu.
Penyesalan telah datang menyambutku, menemani dan menghantui diriku, rasa sakit terasa begitu perih, lebih perih daripada saat Ibu meninggalkanku untuk Om Muksin. Rasa sakit yang terus berdarah sampai detik ini, rasa sakit yang kubuat sendiri, tak ada yang menancapkan perih itu di hatiku yang meletakkan perih itu adalah kebencianku di masa lalu yang melewatkan begitu banyak waktuku bersama Ibu, melewatkan berbagai kesempatanku untuk berbicara baik dan lembut, dan melewatkan semua kesempatan untuk mendekap atau hanya sekedar meringankan rasa sakit yang ia derita. Oh begitu malang dirimu Rani, itu yang selalu tergumam dalam hatiku.
Hari demi hari telah terlewati, Ibu telah berada di alam terpisah dariku, lama sudah wajahnya tak ku lihat, dan sudah lama juga aku tak mendengar suaranya. Waktu terus berjalan, ketika hidup menekankan aku untuk tetap berjalan ke depan, aku harus maju namun luka masih berdarah, penyesalan masih selalu datang menyergapku di sela–sela berbagai aktivitas yang ku lakukan untuk belajar melupakan. Mungkin hal yang biasa, namun aku merasa ini kerinduan yang sebenarnya. Aku ingin kembali, pulang menemui setiap sudut rumahku yang kosong tanpa wajah seseorang yang selalu merindukanku.
Andai saja waktu bisa berputar kembali, aku ingin pulang memeluk Ibuku, mencium dan memeluknya dengan erat. Saat ini doalah yang bisa ku kirimkan untuknya, doa yang selalu aku panjatkan pada Tuhan di setiap akhir sujudku. Andaikan di kehidupan selanjutnya ada kesempatan bagi seorang anak ini untuk bertemu Ibunya, aku mohon padaMu Ya Robbi, pertemukanlah aku, ridhokah dia menjadi Ibuku, ataukah dia menyesal beranakkan aku? Bisakah aku mencium dan memeluknya? aku sangat mencintainya Tuhan.
Setiap perjalanan hidup di muka bumi ini selalu menghantarkan kita pada pembelajaran dan pendewasaan diri, seseorang tak akan pernah tahu mana yang benar jika ia tak melalui sebuah kesalahan. Sekarang aku hidup dengan seorang Kakak yang begitu baik dan penuh pengorbanan, setelah Ibu dialah yang banyak memberi dan menafkahiku, mungkin dari kesadaran itu, kini saatnya aku tunjukkan sikap yang baik pada seorang Kakak, sikap menghormati dan menyayangi, memiliki apa yang sebenarnya diberikan padaku sebagai anugerah. Sekarang Kakak menjadi orang yang paling aku utamakan, seseorang yang aku banggakan, dan seseorang yang aku sayangi. Seperti layaknya orangtuaku karena sebenarnya beliaulah yang menjadi pengganti orangtua bagiku, semenjak Ayah meninggal dunia dan sekarang Ibu juga telah pergi menyusul.
Seperti itulah hidup membawa setiap manusia pada ujungnya, tak ada yang mulus dalam menjalani kehidupan ini, semua pasti memiliki ujian beserta kadarnya masing–masing. Seperti itu pula yang terjadi denganku, penyesalan yang dalam tak boleh menjadi penghambat untuk terus melangkah, sakit pasti ada, akan tetapi waktu selalu berputar, hingga pada akhirnya waktu perlahan–lahan menghapusnya dan mulailah belajar untuk memaafkan diri sendiri. Aku sadar bahwa memang seharusnya aku pulang, pulang pada rumah dan menemui orang yang masih ada untukku. Kawan, pulanglah jika kalian merindukannya karena sebenarnya merekalah yang sangat merindukanmu.
Cerpen Karangan: Fitriyatunnisa Alhikmah
The blue sky is beautiful
but why am I becoming so insignificant and shabby.
I keep holding onto the unanswered phone.
The melody flowing out of the phone is sweet
but why does it sound painful to my ears.
It sounds like my heart screaming after it lost you.
It sounds like the melody is mocking my longing for you.

I walk the same streets we used to walk together.
It still rings in my ears,
your laughter and the late night phone calls of our love games.
This melody is blocking me from hearing it again and holding onto it.
But I still heartlessly call again.
The song that I hear over my longing for you
Is that the answer for me?
I’ve been stuck in the same spot
why now, why now after I’ve been left behind.
I’m listening to the sad end to the song (why now)
You’re not by my side (why now)
I’m crying over the song’s sad story
If I’d held your hand back then,
if I’d held onto you when you turned away,
I could be listening to your voice instead of this song.
If I had been better, if I had been better to you
I could be listening to your warm voice instead of this sad song.
The color ring that resembles me,
as the song reaches approaches its ending, my heart starts to crumble.
The color ring that resembles me,
as the song repeats itself, my tears start to fall.
The color ring that resembles me,
as the time passes, I can’t remember your voice.
The color ring that resembles me,
Even a single word is fine,
Please say good bye.
not angka lagu manuk dadali

Kata Kata Motivasi Penuh Makna dan Semangat Hidup

Jika anda ingin melihat masa lalu, lihatlah keadaan sekarang. Jika anda ingin melihat masa depan maka lihatlah apa yang anda lakukan sekarang.
Akan tiba saatnya kita akan berhenti mencintai seseorang… bukan karena seseorang itu berhenti mencintai kita melainkan… kita menyadari bahwa orang itu akan lebih berbahagia apabila kita melepaskannya.
Perbanyaklah menggunakan telingga melebihi mulutmu. Karena kamu diberi dua tangan dan satu mulut supaya kamu lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Kau bisa bersembunyi dari kesalahanmu, tapi tidak dari penyesalan. Kau bisa bermain dengan dramamu, tapi tidak dengan karmamu.
Melepaskan seseorang yang kita cintai memang sungguh menyakitkan namun tak semua yang dicintai harus dimiliki.
Jangan pernah berputus ada jika menghadapi kesulitan, karena setiap tetes air hujan yang jernih berasal daripada awan yang gelap.
Seberat apapun beban masalah yang kamu hadapi saat ini, percayalah bahwa semua itu tak pernah melebihi batas kemampuan kamu.
Tegas akan diri sendiri, buang pikiran negatif dan lakukan yang baik. Kegelisahan hanya milik mereka yang putus asa.
Tanpa belajar takkan ada perubahan. Tanpa perubahan berarti mati.
Kenangan tetap ada tapi jangan terfokus disana. Hidup lo bukan untuk kenangan tapi buat masa depan. Tetap semangat!
Cinta tidak memiliki apapun yang kau ingin kau dapatkan, tapi cinta memiliki semua yang ingin kau berikan.
Ketika terjadi sebuah masalah lebih baik segera memperbaikinya dengan mencari solusi bersama daripada saling menyalahkan.
Kesabaran merupakan obat terbaik dari segala kesulitan.
Seorang pemenang takkan pernah berhenti untuk berusaha dan orang yang berhenti untuk berusaha takkan menjadi seorang pemenang.
Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk sukses.
Ketika amarah memuncak, bersabar adalah pilihan terbaik. Marah tidak akan menyelesaikan masalah dan mengalah bukan berarti kalah.
Orang-orang berhasil tidak hanya dengan keras hati, melainkan mereka juga pekerja keras yang percaya pada kemampuan dirinya.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk “MoveOn” dan untuk benar-benar bisa bangkit maka semuanya itu harus dimulai dari NIAT!!!
Karena patah hati mengajarkan kita akan satu hal, cinta tidak akan pernah salah memilih tempat dimana dia harus berada.
Ikhlas bukan berarti kita pasrah menerima, tapi ikhlas adalah kekuatan besar untuk kita terus berusaha agar mendapat yang lebih baik.
Masalah adalah sebuah anugrah Dimana kita bisa mendapatkan hikmah dan memberikan inspirasi untuk bertindak.
Anda akan menjadi orang yang tersisihkan jika tidak siap menghadapi perubahan.
Sering kali, kita mengatakan “tidak mungkin” padahal, kita hanya belum mengetahui caranya.
Sukses hanya bagi orang yang tetap semangat meski halangan dan rintangan di depan mata.
Hidup itu layaknya mengendarai sepeda. Agar tetap seimbang, maka anda harus terus mengayuhnya.
Kehidupan akan membawa seseorang pada jalan yang dipilihnya. Pilihan yang tepat takkan pernah mendatangkan penyesalan.
 Sumber : www.diakui.com